Berinvestasi di Era New Normal



Perencana keuangan menilai masa normal baru alias New Normal adalah momentum yang tepat bagi masyarakat untuk memulai kembali berinvestasi. Pasalnya, dalam kondisi new normal, diperkirakan ekonomi dan bisnis bakal mulai bergerak kembali.

Harusnya ini saatnya kita berani lagi berpikir investasi karena bisnis sudah bergerak. Mau tak mau pasti ada peningkatan ekonomi atau pertumbuhan yang mempengaruhi produk investasi.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat bisa kembali masuk ke instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham dan reksa dana. Meskipun, dalam situasi ini emas pun masih cukup bagus sebagai simpanan investasi.

Karena meskipun kita New Normal, tapi kan makronya sedang bermasalah, jadi secara makro orang masih butuh safe haven. Karena itu, masyarakat yang memiliki emas untuk tidak menjual habis emasnya. Sebab, dalam situasi ekonomi yang bermasalah orang akan tetap membutuhkan emas.

Transisi investasi dari instrumen berisiko rendah seperti emas ke risiko tinggi seperti saham harus dilakukan secara bertahap dan memperhatikan situasi di lapangan. Kalau mau mulai bisa mulai kurangi 5-10 persen emas ke saham karena mulai bergerak.

Melihat kondisi New Normal ini bisa jadi masih tahap percobaan. Sehingga masyarakat harus lebih ketat dalam mengelola keuangan, berjaga-jaga apabila kondisi new normal tidak seperti yang diharapkan.

Jadi yang utama sebenarnya tetap harus jaga-jaga harus punya uang cash atau dana cadangannya cukup. Karena kondisi bisa berubah langsung dari yang diharapkan normal menjadi tidak normal lagi. itu sangat mungkin terjadi. 

Dana cadangan berupa uang tunai ini, perlu dipersiapkan sebanyak empat kali pengeluaran bulanan. Dana ini tidak boleh dipakai kecuali pada keadaan yang mendesak.

Bagaimana strateginya?

Menempatkan pada 3 instrumen yaitu Deposito, Obligasi dan Saham.

Bentuk antisipasi dapat dilakukan dengan kombinasi saham – deposito atau saham – obligasi – deposito dengan batasan bobot sesuai ketentuan dan diversifikasi pada beberapa sektor / saham. Harapannya ketika pasar secara umum turun, masih ada instrumen / sektor saham tertentu yang naik sehingga risiko fluktuasinya bisa diminimalkan.

Deposito

Deposito yang memberikan bunga tinggi, umumnya mensyaratkan masa penempatan yang lebih lama. Sementara yang bisa dicairkan kapan saja, atau disebut on call, biasanya menawarkan bunga yang lebih kecil.

Dalam hal ini perlu lebih selektif dalam memilih bank. 

Hingga saat ini memang belum ada bank umum yang bermasalah terkait Covid-19. Dan diharapkan akan terus demikian.

Obligasi

Pada dasarnya obligasi mirip dengan deposito. Hanya saja jatuh temponya lebih panjang, mulai dari 2 tahun hingga 30 tahun. Penerbitnya ada perusahaan swasta dan juga pemerintah.

Umumnya perusahaan swasta jatuh temponya lebih singkat yaitu 2, 3, 5 dan 7 tahun. Untuk obligasi pemerintah bisa lebih panjang hingga 30 tahun.

Resiko yang ada adalah resiko gagal bayar dan resiko likuiditas.

Risiko gagal bayar mengacu pada kemampuan dan komitmen perusahaan dalam melunasi kupon dan pokok pada saat jatuh tempo. Sementara risiko likuiditas mengacu pada kemudahan untuk menjual obligasi untuk membayar perintah pencairan.

Untuk obligasi pemerintah, pada dasarnya tidak ada risiko gagal bayar. Risiko likuiditas juga relatif kecil karena relatif mudah untuk menjual obligasi pemerintah di pasar. Yang biasanya lebih diwaspadai adalah risiko fluktuasi harga.

Karena periode jatuh temponya yang lebih panjang, harga obligasi pemerintah terkadang bisa sangat fluktuatif. Terutama pada saat suku bunga berubah. Dalam kondisi ekstrem, turun sekitar 2 persen-3 persen atau lebih dalam 1 hari juga dimungkinkan.

Untuk obligasi swasta, risiko fluktuasi harga malah relatif kecil karena periode jatuh tempo yang lebih pendek dan kupon yang relatif besar sehingga perubahan harganya bisa ditutup dari kupon yang dibayarkan.

Secara teori, ketika suku bunga naik maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya jika suku bunga turun maka harga obligasi akan naik.

Saham

Ada 2 pendekatan dalam mengelola reksa dana saham yaitu pendekatan pasif yang sering digunakan dalam reksa dana indeks dan pendekatan aktif yang terdapat pada reksa dana saham secara umum.

Untuk pendekatan pasif, strategi pengelolaan berfokus bagaimana kinerja reksa dana menyamai daripada indeks acuannya. Sementara untuk pendekatan aktif, strategi pengelolaan berfokus pada bagaimana mengalahkan pasar (umumnya IHSG)

Pada reksa dana pasif, biasanya kinerja reksa dana akan sama atau kurang lebih sama dengan indeks acuan. Sementara pada reksa dana aktif, bisa ada 3 kemungkinan, lebih baik daripada pasar, lebih buruk dari pasar, dan terkadang secara kebetulan sama dengan pasar.

Peluang investasi setelah masa pandemi virus corona atau kerap disebut sebagai era new normal.

Akan ada tata posisi baru ekonomi ke depan dan beberapa sektor usaha berpeluang berkembang. Paling tidak 2-3 tahun ke depan ekonomi berbasis kebutuhan, keselamatan, keamanan, dan kesehatan, sektor ini bakal berkembang.

Investasi di bidang retail dan sumber daya alam sedang menurun akibat kebijakan pembatasan sosial guna memangkas penyebaran virus corona. Misalnya minyak dan gas yang terus mengalami penurunan permintaan.

Investasi di industri jamu sangat menarik dilakukan. Mengingat produk ini berbasis lokal dengan bahan baku tersedia di dalam negeri. Lebih dari itu, terbukti bisa meningkatkan imunitas tubuh.

Selain jamu, bisa juga berinvestasi di bidang e-commerce. Sebab, menurut data, sektor ini terbukti mengalami peningkatan pada Maret lalu. Bukan hanya trafik, tapi number of active account meningkat.

Jumlah trafik e-commerce Bukalapak misalnya, melonjak lebih dari 10% selama periode pandemi corona. Bukan hanya transaksi, tapi jumlah pengguna baru. Produk yang paling banyak dibeli yakni masker kesehatan, hand sanitizer, dan bahan pokok.

UMKM di sektor konsumsi sangat menjanjikan di masa new normal. Khususnya pangan. Karena ini termasuk ekonomi berbasis kebutuhan.

Namun syaratnya, yang cepat beradaptasi dengan new normal. cepat merangkul digitalisasi. Semua proses mereka masuk ke dalam ekosistem digital.

Komentar