Lahan Nganggur 2 Tahun Diambil Negara: Antara Regulasi dan Keadilan Agraria

Isu tentang pengambilalihan lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun oleh negara kembali mencuat ke ruang publik. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya agraria demi kepentingan umum dan mendukung ketahanan pangan nasional. Namun, di balik kebijakan ini, muncul sejumlah pertanyaan terkait keadilan, kepastian hukum, dan hak kepemilikan warga negara.

Dasar Hukum dan Tujuan Kebijakan

Pemerintah berlandaskan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 serta Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam regulasi tersebut, negara memiliki wewenang untuk mengambil alih tanah yang dianggap "telantar", yakni tidak digunakan, dimanfaatkan, atau dipelihara sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanah selama dua tahun berturut-turut.

Tujuan dari kebijakan ini adalah:

  1. Mengatasi ketimpangan penguasaan lahan.

  2. Mendorong produktivitas lahan demi ketahanan pangan.

  3. Mendukung program reforma agraria dan pembangunan nasional.

Menteri ATR/BPN menyampaikan bahwa "negara tidak boleh membiarkan aset strategis berupa lahan tidur, sementara rakyat masih banyak yang tidak punya tanah untuk bercocok tanam atau tinggal."

Kontroversi dan Tantangan Lapangan

Meskipun memiliki tujuan mulia, implementasi kebijakan ini tidak luput dari kritik. Beberapa tantangan yang mencuat di antaranya:

  • Pemilik sah merasa terancam kehilangan haknya hanya karena faktor keterbatasan dana atau kondisi ekonomi sehingga tidak mampu mengelola tanah dalam jangka waktu tertentu.

  • Definisi “lahan telantar” sering kali menimbulkan interpretasi yang berbeda. Apakah tanah yang tidak ditanami namun dijaga dan dibersihkan termasuk telantar?

  • Minimnya sosialisasi dan proses verifikasi yang belum transparan.

Lembaga bantuan hukum dan organisasi petani mengingatkan bahwa banyak petani kecil atau pemilik warisan tanah yang belum mampu mengelola lahannya secara optimal karena keterbatasan modal. “Jangan sampai negara menjadi predator atas tanah rakyat kecil yang hanya karena tidak terpakai 2 tahun, langsung diambil tanpa pendekatan yang manusiawi,” ujar seorang aktivis agraria dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Jalan Tengah: Pendekatan Persuasif dan Edukatif

Sejumlah ahli hukum agraria menyarankan bahwa pendekatan dialogis dan persuasif harus dikedepankan. Negara seharusnya tidak langsung mengambil alih, tetapi memberikan peringatan, kesempatan pembinaan, atau opsi kerja sama seperti sewa pakai atau kemitraan tani.

Pemerintah daerah juga diimbau untuk:

  • Melakukan pendataan yang akurat dan adil.

  • Memberikan dukungan teknis dan modal kepada pemilik tanah yang kesulitan mengelola lahan.

  • Menyediakan jalur pengaduan bagi warga yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini.

Menyeimbangkan Hak dan Kebutuhan Publik

Lahan yang dibiarkan menganggur memang merugikan secara ekonomi dan sosial. Namun, dalam menegakkan aturan, negara wajib menyeimbangkan antara hak individu atas tanah dengan kepentingan bersama. Keadilan agraria bukan hanya soal distribusi tanah, tetapi juga soal memberikan kesempatan yang adil bagi rakyat kecil untuk memanfaatkannya.

Sumber Referensi:

  • UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

  • PP No. 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar

  • Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

  • Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia

Komentar

Postingan Populer